Rabu, 30 Januari 2019

Era ku Era mu

Berjaya pada masanya, itulah kebanyakan beberapa kampung halaman bersemboyan. Ketika cepatnya waktu, yang hendak melahapnya menjadi hidangan penutup malam ini. Aku adalah seorang anak yang pernah hidup berkontribusi pada pengalaman tersebut, yang mana cerita dimulai dari pertama aku lahir di dunia yang fana ini. Memandangi suatu objek dan merenunginya adalah salah satu hobi favoritku, di tengah-tengah waktu melaju entah dimana ujungnya. Di kala itu tak seorang bocah pun memegang suatu alat yang membuat era dulu menjadi begini. Sebenarnya aku merenungkan segalanya itu, membuat pikiranku timbul suatu pertanyaan “bagaimana”. Yaa benar.... bagaimana anak dengkil dan bodoh sepertiku berani melangkahkan kehidupan di era sekarang ini. Yang mungkin jikalau dimisalkan bagai seekor kura-kura yang hendak mengukur kecepatan dengan seekor citah, namun di sisi lain diriku mempunyai beberapa pengalaman di era lampau yang mungkin tak dimiliki oleh anak era sekarang. Citah memang akan memenangkan kompetensi kecepatan, namun tidaklah untuk daya tahan dan kekebalan. Era lampau susah yaa susah.... menyenangkan yaa pastinya tak ada kata “instan”, semuanya harus berusaha keras agar menjadi yang terbaik. Sekarang bermain di atas nama, namun dulu berjuang untuk nama di atas. Betapa kurangnya waktu untuk anak era lampau, baru terasa ketika kita sudah sama-sama menginjak era sekarang. Yang dulunya saling tertawa dan menangis, sekarang semuanya berubah akan kesibukan bersaing. Dulunya ramai setelah salat Isya berubah hening ketika sekarang, dulunya suara merdu burung menyapa indahnya pagi hari serta terbitnya sang sumber energi di bumi kini suara kendaraanlah yang menghiasi buruknya udara pagi hari. Memang benar, dunia ini fana segala hal yang indah mungkin hanya ada pada masanya saja dan kebanyakan tak bisa terulangi lagi. Aku adalah seorang anak polos berbekal hanya beberapa pengalaman selama ini, mungkin sebayaku sudah banyak yang melampauiku atau mungkin mereka sudah dipersiapkan untuk mengikuti era sekarang ini. Menghapus memori atau memori terhapus dengan kesibukan yang diciptakannya sendiri, mereka terjebak di kegelapan atau malah diriku yang terjebak di kegelapan tersebut. Berbekal kesederhanaan pun diri ini mulai tertarik untuk membiasakan di era sekarang ini, ternyata memang jauh berbeda dengan dulu yang jikalau ada orang terjatuh dijalan sekarang malah di tertawakan padahal era lampau langsung bertindak untuk menolongnya tanpa berpikir panjang. Lebih istimewanya lagi kita seakan bebas dalam menegakkan badan ketika hendak lewat di depan orang yang lebih tua dari kita. Era yang dulunya memandang usia seakan sekarang jabatanlah yang menjadi patokannya, mengapa? Mungkin tanpa jabatan bagaikan kita tak akan hidup enak dan mewah atau bahkan lebih baik mati saja. Yang dulunya bekerja dengan beberapa tangan, sekarang berubah menjadi satu tangan untuk terwujudnya keinginan. Sempat terpikir jikalau akhirnya begini, mengapa manusia masih dianggap sebagai makhluk sosial... “mengapa tidak semut saja?.” Semut dalam masalah sebesar apapun mereka tetap menghadapinya secara bersama-sama tanpa diiringi rasa mengeluh atau mungkin diriku tak cukup mengetahui akan hal itu. Dan mungkin juga adalah salah satu tantangan atau faktor perubahan dari era lampau, aishh.. diriku benar-benar tak tahu apapun. Yang dulunya sapi berubah menjadi mesin, yang dulunya lahan kosong berubah menjadi pencakar langit, lebih parahnya lagi mungkin kedepannya manusia adalah mitos belaka dan langka, sedangkan mesin adalah fakta dan hal yang sudah biasa saja. Diriku tak mengetahui juga, hanya Tuhan lah yang mengetahuinya akan segala hal itu. Era lampau anak-anak tak sedikit pula yang belajar melewati pengalamannya, namun sekarang serba ada dan serba mudah untuk memperlajari segala sesuatu. Baik mulai dari mempelajari karakteristik masing-masing individu layaknya sang peramal, dan sampai-sampai mengkritik seorang pemimpin dengan mudahnya hanya berbekal ilmu seujung kuku kelingking. Tidak usah jauh-jauh ke era sekarang dan lampau, kita pandang saja antara kehidupan di desa dan di kota. Kebanyakan dari beberapa hasil pengamatan lebih keras di kota, mengapa akan hal itu?. “Individualis” itulah yang membuat perbedaan, itulah yang membuat perbedaan dan itulah salah satu masalah terbesar. Betapa tentramnya desa yang juga dihiasi dengan indahnya kebersamaan dan tolong-menolong. Mungkin ada beberapa yang tidak setuju akan hal ini, namun itulah yang pertama kali terlintas dipikiranku. Ohh.. kampung halaman di dalam diriku dan sepengetahuanku, akulah “perindu mu (penaruh rindumu)” ketika yang lain tertidur lelap menyelesaikan kesibukannya. Rindu akan kita pernah hidup dalam kebersamaan walau terlalu singkat untuk bisa mengenangnya, karena jayanya dirimu tak lagi terang benderang. Mungkin memang benar kita manusia tak sama seperti gerombolan semut, namun tak jauh berbeda dengan segerombolan piranha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar